by: DhiIyas_Sampean
Di lirik lagu aku berada di kehidupan itu
Kesepian diantara cinta-cinta
Yang terukir dalam lagu
Hingga hati melepuh
Dari curahan hati metah hati
Dimana cinta menjadi nyawa hidup
Diriku
menatap diri ku sendiri dalam sandi kehidupan menerawang asap yang yang tlah
ada, dari sebuah kenikmatan yang sulit di hindari. Hari ini sunyi dalam
keramaian ku melihat bintang-bintang dalam siang menangis melihat tuannya
melahap hari penuh dengan dusta di kotak ruang dan waktu untuk mengisi catatan hariannya. Kasih tlah
tiada di sebuah pengasingan sang kekasih ilusif yang menanti menggoda jiwa
untuk memenuhi sebuah kenikmatan akhiria, melupakan segala sesuatunya, menguras
ingatan dari waktu-waktu. Tapi Rasanya aku barada di titik kulminasi untuk
sesaat. Tapi penyesalan kian menghantu dari hujatan-hujatan batin yang ingin
berubah dari dosa besar yang aku perbuat karena menghilangkan tubuhku untuk
sebagian. Rasa piluh pun menghujat dalam setiap persendian memintah untuk
beristrahat untuk sejenak dari jenaka ini. Andai saja ini bisa
di lempar kejauhan sana maka sudah ku lempar untuk cepat sampai tapi jalan ini
masih terlalu panjang untuk memuaskan hidup di bilik-bilik sperma. Dari hasil
yang paling najis untuk mengalir ruang hati dari penyesalan untuk mengankat
cerita ilusif dari setiap waktu yang bercerita untuk membangkitkan semangat
egoisme manusia ini untuk menjadi penjara bagi dirinya yang selalu mengangap
dirinya dialah yang palin benar ...... itulah yang ada pada diriku.
Dan sebuah kekeliruan yang panjang.
Tapi
Kini jejak tak bisa di nafikan, walaupun bekas tlah ditinggalkan, yang
meninggalkan rasa di butir-butir pasir walau tak berbekas di batu kerikil tapi
menghasilkan perih untuk cepat beranjak keluar dari sana penuh kegelisahan hingga tertegun
pada titik beku dimana tidak ada lagi canda tawa yang ada hanya tangisan di balik payung putih
diantara payung-payung hitam. Tapi menjadi pernyataan masih lamakah aku untuk
sampai kesana? Kenapa tidak ada yang bisa
yang tau? Dan kenapa tidak ada yang memberikan jawaban yang pasti hingga aku sampai pada perempatan jalan
sebuah kondisi teramat sulit untuk memilih dari jawaban-jawaban dilematis dari
pertanyaanku
Maka
ku ambil jalan yang pintas diantara pilihan yang tidak ada, hingga aku bisa
melangkah satu langkah untuk merebahkan setiap jalan yang berliku pada poros
yang terjal yang akan ku jadikan sebuah kedamaian di pundakku. Dimana tak ada
lagi kehangatan di antara dahan-dahan pohon yang daun tlah gugur dari sebuah
kehausan yang panjang di padan panjang dimana air tersedia tidak bisa lagi
digunakan. Kehidupan buta telah terlukis dari sebuah rayuan nostalgia di masa
kini yang berhembus dengan kabar angin dalam sebuah realitas yang sudah pasti
dimana aku tak mampu lagi bergelut di dinding bukit yang terjal. Dimana permata
mengeluarkan tetesan-tetesan hujan dalam setiap rintihannya untuk menghilangkan
lumuran muntah yang di balut dengan madu penuh khasiat alami. Rasa pun kian
menghujat untuk bersama mereka dari posisi untuk nama perjuangan tapi mereka
hidup diatas hidup mereka. Hingga aku sampai pada puncak penetrasi kegilaan
untuk merajuk kehidupan yang penuh dengan lumpur entah dimana untuk dibersihkan
dimana air tak bersahabat lagi denganku dimana tak ada lagi untuk manjamuku
dengan senyuman. Dimana tak ada lagi yang ingin menjemputku dengan permadani
Aladin munkin itulah pilihan hidup dari sebuah pengejawantahan dari titik
kulminasi sesaat yang memandu-ku pada setengah hidup untuk menuju kegelapan
dari dunia yang frustrasi. Tapi aku terus menunggu pada sebuah keyakinan untuk
mencapai pencerahan dimana gundah tak ada lagi di bilik-bilik kedamain dari
setengah hidup itu.
Resapan-resapan
cahaya sufi berbunga melayang-layang di udara untuk menangkapnya dengan
keyakinan skeptis dari ketertundukan kerapuhan yang luluhlantak dari sebuah
kebiasaan imajinatif di tengah gusaran jiwa yang melanda diri dari sebuah
pilihan yang sudah pasti yang belum berujung dari sebuah runcing di ujung
tombak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar